“Saya teringat pada satu kesempatan di Betlehem ketika para penonton yang penuh sesak di sebuah bioskop bertepuk-tangan dengan sukacita saat menonton film 21 Hari di Munich. Saat kami melihat orang-orang Palestina ...membunuh atlet-atlet Israel, kami...berteriak,’Allahu Akbar!’ Sebuah slogan sukacita”.
Salah-satu kekuatan yang paling dahsyat di dunia adalah kesaksian yang mengubah hidup. Sebagaimana Parvin dan Homa Darabi, Walid Shoebat juga mengalami jahatnya terorisme karena ia pernah menjalaninya – pada kenyataannya, ia mempraktekkannya. Sewaktu remaja, ia membom sebuah bank di Tanah Suci dan turut serta memukuli seorang tentara Israel. Ketika istrinya yang beragama katolik menantangnya untuk mempelajari Alkitab, hatinya yang keras kemudian menjadi lembut saat ia belajar tentang anugerah, rekonsiliasi, dan kasih yang diberikan melalui pengorbanan Yesus Kristus. Sekarang Walid menyerukan perlunya toleransi beragama dan kebebasan pribadi. Dan ia berusaha keras, berjalan dari seorang teroris menjadi seorang yang anti teroris.
Kisah Walid Shoebat dengan tajam menunjukkan pada kita apa yang akan terjadi di lingkungan kita jika kita tidak menghentikan terorisme Islam. Ia meninggalkan Islam dengan alasan yang jelas: Islam menghasilkan kekerasan. Ia takut jika kita yang hidup di dunia Barat dan negara-negara non-Muslim lainnya tidak bersatu sekarang, kita akan menghadapi kekerasan Islam yang lebih dahsyat di kemudian hari. Saat itu terjadi, itu tidak terjadi di suatu tempat di seberang lautan – itu akan terjadi di dalam komunitas kita sendiri.
Mengapa Saya Meninggalkan Islam
Saya lahir dan dibesarkan di Beit Sahour, Betlehem, di Tepi Barat, dalam sebuah keluarga berada. Kakek dari pihak ayah saya adalah seorang mukhtar, atau kepala suku, di desa itu. Ia adalah sahabat dari Haj-Ameen Al-Husseini, Mufti Agung Yerusalem dan sahabat dekat Adolf Hitler. Kakek dari pihak ibu saya, F.W.Georgeson, di sisi lain, adalah sahabat dekat Winston Churchill, dan pendukung keras terbentuknya negara Israel, walau saya tidak terlalu menyadari akan hal ini sampai bertahun-tahun kemudian dalam hidup saya. Saya dilahirkan pada salah satu hari raya penting Islam, yaitu hari kelahiran Nabi Muhammad. Ini adalah suatu kehormatan besar untuk ayah saya. Untuk merayakan hari itu, ia menamai saya Walid, yang berasal dari kata bahasa Arab mauled, yang artinya “kelahiran”. Itu adalah cara ayah saya untuk mengingat kenyataan bahwa putranya dilahirkan pada hari yang sama dengan kelahiran nabi terakhir dan terbesar dari semua nabi.
Ayah saya adalah seorang Muslim Palestina yang mengajar bahasa Inggris dan studi Islam di Tanah Suci. Ibu saya adalah seorang Amerika yang menikahi ayah saya pada tahun 1956 ketika ayah saya sedang studi di Amerika. Karena mereka takut akan pengaruh dari gaya hidup Amerika terhadap anak-anak mereka, saat ibu saya sedang mengandung saya, orang-tua saya pindah ke Betlehem, yang pada waktu itu adalah bagian dari Yordania. Itu terjadi pada tahun 1960. Tak lama setelah orang-tua saya tiba di Betlehem, saya dilahirkan. Ketika ayah saya berganti pekerjaan, kami pindah ke Arab Saudi dan kemudian kembali ke Tanah Suci – kali ini ke dataran terendah di muka bumi: Yerikho. Saya dibesarkan dan belajar bagaimana membenci namun diselamatkan melalui teladan mengasihi yang ditunjukkan oleh ibu saya yang adalah orang Amerika, yang paham soal belas kasih, keadilan, dan kebebasan.
Saya tidak pernah melupakan lagu pertama yang saya pelajari di sekolah. Judulnya adalah “Orang-orang Arab Kekasih Kami dan Orang-orang Yahudi Anjing-anjing Kami”. Waktu itu saya baru berumur 7 tahun. Saya ingat waktu itu saya bertanya-tanya siapakah orang Yahudi itu, namun bersama dengan teman-teman sekelas saya, saya mengulangi kata-kata itu tanpa benar-benar memahami apa arti yang sebenarnya.
Saya dibesarkan di Tanah Suci, saya mengalami beberapa pertempuran antara Arab dan Yahudi. Pertempuran pertama, ketika kami masih tinggal di Yerikho, adalah Pertempuran Enam Hari, ketika orang Yahudi menaklukkan Yerusalem tua dan sisa “Palestina”. Sulit sekali menggambarkan betapa hal ini sangat mengecewakan dan mempermalukan orang Arab dan kaum Muslim di seluruh dunia.
Konsul Amerika di Yerusalem datang ke desa kami tidak lama sebelum perang itu terjadi untuk mengevakuasi semua orang Amerika di wilayah itu. Oleh karena ibu saya adalah orang Amerika, mereka menawarkan bantuan kepada kami, tapi ayah saya menolak bantuan apapun dari mereka, karena ia mencintai negerinya. Saya masih ingat banyak hal selama perang itu – suara ledakan bom yang berlangsung berhari-hari dan bermalam-malam selama 6 hari, penjarahan toko-toko dan rumah-rumah oleh orang-orang Arab di Yerikho, orang-orang mengungsi menyeberangi Sungai Yordan karena takut terhadap orang Israel.
Perang itu dinamai demikian karena hanya berlangsung dalam 6 hari. Orang Israel memperoleh kemenangan atas pasukan multi-nasional Arab yang menyerang dari banyak front. Hanya pada hari ke-7 peperangan ini, Rabbi Shalom Goren, ketua rohaniwan pasukan Pertahanan Israel, mengeluarkan pernyataan yang bergema di shofar, mengumumkan kontrol Yahudi atas Tembok Barat dan kota tua Yerusalem. Banyak orang Yahudi menghubungkan peristiwa ini paralel dengan kejadian yang dicatat dalam Alkitab ketika Yosua dan bangsa Israel menaklukkan Yerikho. Yosua dan orang Israel mengelilingi tembok Yerikho selama 6 hari, dan pada hari yang ke-7, mereka mengelilingi tembok itu 7 kali. Para imam membunyikan shofar bersamaan dengan orang-orang Israel berteriak dengan satu suara. Tembok pun roboh dan orang Israel menguasai kota itu.
Seusai perang, bagi ayah saya di Yerikho, seakan-akan tembok itu telah roboh langsung menimpanya. Selama perang, ia duduk lengket dengan radio mendengarkan stasiun radio Yordan. Ia selalu berkata bahwa orang-orang Arab akan memenangkan perang itu – tapi ia mendengarkan stasiun radio yang salah. Stasiun radio Israel mengabarkan kebenaran mengenai kemenangan telak mereka. Namun ayah saya memilih untuk mempercayai orang Arab yang mengklaim bahwa orang-orang Israel – selalu – berbohong, mengumumkan propaganda palsu. Banyak diantara kita sekarang yang tentunya masih ingat menteri informasi Saddam, yang dikenal dengan “Baghdad Bob”, dan semua klaim liar dan laporan palsu yang diteriakkannya beberapa hari setelah kejatuhan Baghdad? Dalam dunia Islam, nampaknya ada hal-hal yang tidak pernah berubah.
Kemudian, pindah kembali ke Betlehem, dan ayah saya memasukkan kami ke sebuah sekolah Anglikan-Lutheran agar dapat menguasai pelajaran-pelajaran bahasa Inggris. Saudara saya laki-laki dan perempuan, dan saya sendiri adalah satu-satunya orang Muslim di sekolah itu. Kami bertiga dibenci. Terutama bukan karena kami orang Muslim, tetapi karena kami setengah Amerika. Walaupun itu adalah sekolah Kristen, sekolah itu masih memiliki jejak kekristenan yang berwarna Islam yang mempengaruhi banyak orang Kristen Palestina hingga saat ini. Agar dapat diterima – dan kadangkala hanya supaya bisa tetap hidup – banyak orang Kristen di negara-negara yang didominasi Islam mengadopsi sikap benci yang dimiliki orang Muslim di sekeliling mereka terhadap Israel, Amerika dan dunia Barat. Karena kami separoh Amerika, guru-guru seringkali memukuli kami sementara murid-murid Kristen menertawakan hal itu.
Akhirnya, ayah saya memindahkan saya ke sekolah pemerintah dimana saya mulai bertumbuh kuat dalam Islam. Saya diajari bahwa suatu hari penggenapan sebuah nubuat kuno oleh Nabi Muhammad akan terjadi. Nubuat ini menceritakan suatu peperangan dimana Tanah Suci akan kembali ditaklukkan Islam dan eliminasi orang Yahudi akan terjadi dalam sebuah pembantaian massal. Nubuat ini ditemukan dalam banyak buku suci tradisi Islam yang dikenal dengan Sahih Hadith. Tradisi ini berbunyi sebagai berikut, dan merupakan pola pikir semua pengikut Islam radikal”
“[Muhammad berkata:] Saat terakhir tidak akan datang kecuali orang Muslim memerangi orang Yahudi dan orang Muslim akan membunuh mereka hingga orang Yahudi menyembunyikan diri di balik batu atau pohon dan berkata: Muslim, atau hamba Allah, ada orang Yahudi di belakang saya; datang dan bunuhlah dia; tetapi pohon Gharqad tidak akan berkata, karena itu adalah pohon orang Yahudi”. (Sahih Muslim Buku 041, Nomor 6985). Jika ditanya dimana pembantaian itu akan dilaksanakan, tradisi mengatakan bahwa itu akan terjadi di “Yerusalem dan daerah sekelilingnya”.
Selama masa remaja saya, seperti ayah, saya selalu menyesuaikan diri dengan Islam dan apa saja yang diajarkan guru-guru Muslim kepada kami. Saya, seperti halnya teman-teman sekelas saya pada umumnya, sangat terinspirasi oleh visi Muhammad yang gelap dan penuh darah. Saya menyerahkan hidup saya untuk jihad, atau perang suci, untuk memenuhi penggenapan nubuat ini. Saya ingin menjadi bagian dari tercapainya rencana Muhammad, ketika Islam akan memperoleh kemenangan terakhir atas orang Yahudi dan akhirnya – tanpa halangan lagi – memerintah dunia. Ini adalah ideologi para mentor saya, dan ketika saya telah meninggalkan paham fanatik ini, jutaan orang di Timur Tengah masih mempercayainya, dan mereka masih berjuang untuk menjadikannya sebuah realita.
Selama masa remaja saya, sering ada kerusuhan di sekolah menentang apa yang kami sebut sebagai pendudukan Israel. Sedapat-dapatnya saya berperan sebagai penghasut dan penggerak. Saya bersumpah untuk memerangi musuh Yahudi, percaya bahwa dengan melakukannya saya sedang melakukan kehendak Tuhan di atas bumi. Saya tetap setia pada sumpah saya saat saya memerangi tentara Israel dalam setiap kerusuhan. Saya menggunakan berbagai alat yang ada untuk menghasilkan kerusakan dan sakit yang sebesar-besarnya. Saya berunjuk rasa di sekolah, di jalanan, dan bahkan di Temple Mount di Yerusalem. Selama sekolah menengah, saya adalah pemimpin aktivis yang memperjuangkan Islam. Saya akan mempersiapkan pidato-pidato, slogan-slogan, dan menulis grafiti anti Israel sebagai usaha untuk memprovokasi murid-murid lain untuk melempari tentara-tentara Israel yang bersenjata dengan batu. Gema bergemuruh teriakan-teriakan kami masih jelas dalam ingatan saya:
Tidak ada damai atau negosiasi dengan musuh!
Darah dan jiwa kami kurbankan untuk Arafat!
Darah dan jiwa kami kurbankan untuk Palestina!
Matilah Zionis!
Impian saya adalah untuk mati sebagai sahid, seorang martir untuk Islam. Pada saat berunjuk rasa saya akan membuka baju saya berharap untuk ditembak, tetapi karena orang Israel tidak pernah menembaki tubuh, saya tidak pernah berhasil. Ketika gambar-gambar sekolah diambil, saya dengan sengaja berpose dengan wajah yang cemberut mengantisipasi bahwa pada koran berikut wajah sayalah yang akan dimuat sebagai martir berikutnya. Banyak kali saya hampir terbunuh waktu unjuk rasa siswa dan kerusuhan dengan tentara Israel. Jantung saya berdebam; tak ada yang dapat menyingkirkan keinginan saya –kebencian dan kemarahan saya – selain dari mujizat. Saya adalah salah seorang dari orang-orang muda yang mungkin anda lihat di CNN melempar batu dan bom molotov pada hari-hari Intifada atau “kebangkitan”. Pada waktu itu, saya akan membenci label itu; tapi sebenarnya saya adalah seorang teroris muda. Pencucian otak dengan paham Islam-Nazi oleh para guru dan imam – dalam keseluruhan budaya saya – mencapai pengaruh yang dicita-citakannya.
Apa yang saya ketahui sekarang adalah bahwa saya tidak hanya meneror orang lain, tetapi dalam banyak hal, saya sedang meneror diri saya sendiri dengan apa yang saya percayai. Perjuangan utama saya adalah untuk mendapatkan nilai yang cukup – untuk membangun catatan teror yang hebat – agar disukai Allah. Saya hidup dengan takut akan penghakiman dan neraka dan berpikir bahwa hanya dengan bersikap jahat seperti itu saya mempunyai kesempatan untuk masuk janna (surga, atau nirwana). Saya tidak pernah yakin bahwa semua “perbuatan baik” saya dapat melebihi perbuatan-perbuatan jahat saya jika ditimbang pada Hari Penghakiman. Saya tidak hanya digerakkan oleh kemarahan dan kebencian, tetapi juga oleh rasa tidak aman dan ketakutan secara spiritual. Saya percaya pada apa yang telah diajarkan pada saya: cara yang paling pasti untuk meredakan kemarahan Allah terhadap dosa-dosa saya adalah dengan mati memerangi orang Yahudi. Mungkin, jika saya berhasil, saya akan diberi pahala tempat khusus di Surga dimana wanita-wanita cantik bermata besar akan memenuhi hasrat saya yang terdalam.
Sulit untuk menggambarkan sampai pada tahap seperti apa pencucian otak yang dialami orang seperti saya, yang dibesarkan di bawah sistem pendidikan Palestina. Semua pihak berotoritas menyuarakan pesan yang sama: pesan Islam – jihad atau kebencian terhadap orang Yahudi – dan hal-hal yang seharusnya tidak berkuasa atas pikiran orang muda.
Saya teringat satu kejadian di Sekolah Menengah Dar-Jaser di Betlehem saat sedang studi tentang Islam, ketika salah seorang teman kelas saya bertanya kepada guru apakah seorang Muslim diijinkan memperkosa wanita Yahudi setelah mengalahkan mereka. Jawabannya adalah, ”Wanita yang ditangkap dalam pertempuran tidak mempunyai pilihan dalam hal ini, mereka adalah gundik-gundik dan mereka harus menaati tuannya. Berhubungan seks dengan budak tawanan bukanlah “sebuah pilihan bagi para budak”. Ini bukanlah pendapat guru itu semata-mata, tetapi jelas sekali diajarkan di dalam Qur’an:
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu”. Surah 4:24
Dan juga dikatakan dalam Qur’an:
“Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin”. Surah 33:50.
Kami tidak mempermasalahkan soal Muhammad mengambil keuntungan dari hak istimewa ini saat ia menikahi sekitar 14 istri dan mempunyai beberapa budak wanita yang dikumpulkannya sebagai rampasan beberapa perang yang dimenangkannya. Kami tidak benar-benar tahu berapa banyak istri yang dimilikinya dan pertanyaan itu senantiasa merupakan hal yang kami perdebatkan. Salah seorang dari istri-istrinya diambil dari anak angkatnya sendiri, yaitu Zayd. Setelah Zayd menikahi wanita itu, Muhammad tertarik padanya. Zayd memberikannya kepada Muhammad, tetapi Muhammad tidak menerima pemberian Zayd itu hingga turunlah wahyu dari Allah. Istri-istri Muhammad yang lainnya adalah para tawanan Yahudi yang dipaksa menjadi budak setelah Muhammad memenggal kepala para suami dan keluarga mereka. Inilah hal-hal yang kami pelajari dalam studi kami mengenai Islam di sekolah menengah. Inilah orang yang harus kami teladani dalam segala hal. Inilah nabi kami, dan dari dia dan perkataannyalah kami belajar untuk membenci orang Yahudi.
Saya teringat pada satu kesempatan di Betlehem ketika para penonton yang penuh sesak di sebuah bioskop bertepuk tangan dengan sukacita saat mereka menyaksikan film 21 Hari di Munich. Saat kami menyaksikan orang-orang Palestina melempar granat ke dalam helikopter dan membunuh para atlet Israel, kami semua – ratusan penonton – berteriak, “Allahu akbar!” sebuah slogan sukacita.
Dalam suatu usaha untuk mengubah hati orang Palestina, stasiun televisi Israel menayangkan film dokumentasi mengenai Holocaust. Saya duduk dan menonton, menyoraki orang Jerman sambil makan pop corn. Hati saya begitu keras, mustahil bagi saya untuk mengubah sikap saya terhadap orang Yahudi, kecuali melalui “pencangkokan hati”.
Oleh karena kemurahan Tuhan, saya memiliki sesuatu yang hanya dimiliki oleh sedikit dari teman-teman sekelas saya. Saya mempunyai seorang ibu yang berbelas kasih dan memiliki suara yang lembut – dengan sabar berusaha menggapai saya di tengah-tengah hiruk pikuk suara kebencian yang menulikan di sekitar saya. Ia berusaha mengajari saya di rumah tentang apa yang disebutnya dengan “rencana yang lebih baik”. Namun demikian, pada waktu itu apa yang diajarkannya hanya berdampak sedikit pada saya, karena tekad saya sudah teguh – saya akan hidup atau mati memerangi orang Yahudi. Tetapi seorang ibu tidak pernah menyerah.
Saya tidak menyadarinya waktu itu, tetapi ibu saya telah dipengaruhi oleh sepasang misionaris Amerika. Ia bahkan telah dengan diam-diam meminta mereka untuk membaptisnya. Namun, ketika ia menolak untuk dibaptis di kolam yang penuh dengan ganggang hijau, pendeta misionaris itu harus meminta YMCA di Yerusalem untuk mengosongkan kolam yang dikhususkan untuk pria, dan kemudian ibu saya dibaptis disana. Tak seorang pun anggota keluarga kami mengetahuinya.
Seringkali ibu mengajak saya mengunjungi berbagai museum di Israel. Ini berdampak positif pada saya dan saya jatuh cinta pada arkeologi. Saya terpesona pada arkeologi. Dalam banyak argumentasi saya dengan ibu, secara langsung saya katakan padanya bahwa orang Yahudi dan orang Kristen telah berubah dan memalsukan Alkitab. Ia menanggapinya dengan membawa saya ke Museum Gulungan Kitab di Yerusalem dimana ibu menunjukkan pada saya gulungan kuno kitab Yesaya – masih utuh. Ibu saya berhasil menyampaikan argumennya tanpa berkata-kata. Walaupun ibu berusaha mencapai saya dengan sabar dan lembut, saya tidak tergoyahkan. Saya akan menyiksanya dengan hinaan. Saya menyebutnya seorang “kafir” yang mengklaim bahwa Yesus adalah Anak Tuhan dan saya menyebut ibu “seorang penjajah terkutuk Amerika”. Saya menunjukkan padanya gambar-gambar di suratkabar tentang semua remaja Palestina yang telah menjadi “martir” sebagai akibat dari perselisihan dengan tentara Israel dan saya menuntut ibu untuk memberikan jawaban. Saya membencinya dan meminta ayah untuk menceraikannya dan menikahi seorang wanita Muslim yang baik.
Di samping semua hal ini, ibulah – ketika saya dijebloskan ke Penjara Muscovite di Yerusalem – yang pergi ke konsulat Amerika di Yerusalem dan berusaha untuk mengeluarkan saya. Penjara Muscovite dulunya adalah kamp Rusia yang digunakan sebagai penjara pusat di Yerusalem bagi mereka yang kepergok menghasut orang untuk melakukan kekerasan terhadap Israel. Ibuku yang kekasih sangat kuatir akan arah hidup yang saya ambil sehingga rambutnya mulai rontok. Kekuatirannya bukannya tanpa alasan. Selama saya di penjara saya menjadi anggota kelompok teror Fatah milik Yasser Arafat. Tak lama kemudian, saya direkrut oleh seorang pembuat bom yang sangat terkenal dari Yerusalem yang bernama Mahmoud Al-Mughrabi.
Sudah tiba saatnya bagi saya untuk melakukan yang lebih besar daripada sekadar protes dan membuat kerusuhan. Al-Mughrabi dan saya berencana untuk bertemu di Jalan Bab-El-Wad di Klub Bela Diri Judo-Star yang dikelola ayahnya di dekat Temple Mount di Yerusalem. Ia memberi saya bahan peledak yang rumit yang telah dirakitnya sendiri. Saya harus menggunakan bom – bahan peledak yang disembunyikan dalam seketul roti – untuk meledakkan cabang Bank Leumi di Betlehem. Mahmoud menolong saya menyelundupkan bom itu, seperti halnya Wakf Muslim – polisi agama di Temple Mount. Dari Temple Mount, saya berjalan keluar menuju podium dengan bahan peledak dan pengatur waktunya di tangan saya. Kami berjalan di sepanjang Dinding Ratapan dan menghindari semua titik pemeriksaan. Dari sana, saya berjalan ke stasiun bis dan naik bis ke Betlehem. Saya sudah sangat siap untuk menyerahkan hidup saya jika memang harus demikian. Saya berdiri di depan bank itu dan tangan saya sudah benar-benar siap untuk meledakkan bom di pintu depan, ketika saya melihat beberapa anak Palestina berjalan di dekat bank. Pada saat terakhir, saya malah melemparkan bom itu ke atap bank. Dan saya berlari. Ketika saya sampai di Church of the Nativity (gereja yang dibangun di tempat Yesus dilahirkan-Red), saya mendengar ledakan. Saya sangat ketakutan dan sangat depresi sehingga saya tidak dapat tidur berhari-hari. Saya hanyalah seorang remaja berusia 16 tahun. Saya bertanya-tanya apakah saya telah membunuh orang hari itu. Itulah kali pertama saya mengalami bagaimana rasanya memiliki tangan yang berlumuran darah. Saya tidak menikmati apa yang telah saya perbuat, tetapi saya merasa harus melakukannya karena itu adalah tugas saya.
Kisah yang akan saya ceritakan pada anda berikut ini juga merupakan pergumulan. Itulah kali pertama saya berusaha untuk membunuh seorang Yahudi. Seperti jutaan belalang, batu-batu beterbangan dimana-mana saat kami bertikai dengan tentara Israel. Sekelompok orang dari pihak kami telah menyalakan api dengan cara membakar ban untuk digunakan sebagai blokade. Seorang tentara terluka kena lemparan batu. Ia mengejar anak yang telah melemparinya. Namun kami berhasil menangkap tentara itu. Bagaikan segerombolan binatang liar, kami menyerangnya dengan apa saja yang ada di tangan kami. Saya memegang pentungan dan saya menggunakan pentungan itu untuk memukuli kepalanya sampai pentungan itu patah. Seorang remaja lain memegang tongkat dengan paku-paku yang mencuat keluar. Ia terus memukuli kepala tentara yang masih muda itu hingga ia berlumuran darah. Kami hampir saja membunuhnya. Ajaibnya, seakan-akan dengan didorong ledakan adrenalin yang terakhir, dia lari sekencangnya menyeberangi blokade ban-ban berapi dan berhasil lolos ke seberang dimana para tentara Israel menggotong dan menyelamatkannya. Saya tidak tahu dari mana ia mendapatkan kekuatan itu. Tapi sekarang saya merasa senang karena ia berhasil melarikan diri. Sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, sulit sekali bagi saya mengekspresikan bagaimana saya sangat menyesal dan pedih jika mengingat bahwa saya pernah melakukan hal-hal seperti itu. Sekarang saya bukan orang yang sama seperti waktu itu.
Setelah saya menyelesaikan sekolah menengah atas, orang-tua saya mengirim saya ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Saya masuk di sekolah yang kemudian dikenal dengan Loop College, yang terletak di jantung kota Chicago. Ketika saya tiba disana, saya langsung terlibat dengan banyak acara sosial politik yang anti Israel. Saya masih benar-benar percaya bahwa akan datang harinya dimana seluruh dunia akan tunduk kepada Islam dan kemudian dunia akan menyadari betapa dunia sangat berhutang kepada orang-orang Palestina yang telah mengalami banyak kehilangan oleh karena mereka adalah barisan terdepan dalam perang Islam melawan Israel.
Loop College dipenuhi oleh berbagai organisasi Islam. Ketika saya berjalan ke kantin, rasanya seperti masuk ke sebuah kafe Arab di Timur tengah. Berbagai kelompok Islam beroperasi di luar jam sekolah pada waktu itu, tiap kelompok bersaing untuk merekrut siswa lain. Dengan segera saya mengabdikan tenaga saya untuk melayani sebagai seorang aktifis PLO – Organisasi Pembebasan Palestina. Secara resmi saya harus bekerja sebagai penerjemah dan konselor bagi siswa-siswa Arab melalui sebuah program Amerika yang disebut CETA (Comprehensive Employment and Training Act) dimana saya dibayar dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat. Namun, sebenarnya, apa yang saya lakukan, meliputi menerjemahkan iklan-iklan untuk acara-acara yang bertujuan memenangkan simpati orang Amerika atas perjuangan Palestina. Kenyataannya, “memenangkan simpati” adalah ekspresi yang palsu. Kami berusaha untuk mencuci otak orang-orang Amerika – semua yang kami pandang sangat mudah tertipu. Dalam bahasa Arab, iklan-iklan untuk acara-acara semacam itu dengan terang-terang menggunakan jihadist, sebuah deskripsi anti semitis seperti: “Akan ada sungai darah...Datang dan dukunglah kami untuk mengirim siswa-siswa ke Selatan Libanon untuk memerangi orang Israel...” Di lain pihak, dalam versi bahasa Inggris, kami akan menggunakan deskripsi yang halus dan tidak merusak, seperti: “pesta budaya Timur tengah, datanglah dan bergabung dengan kami, kami akan menyajikan domba gratis dan baklava...” Waktu itu tahun 1970.
Kemudian terjadilah Septembar Hitam. September Hitam adalah bulan yang dikenal di seluruh Timur Tengah sebagai saat ketika Raja Hussein dari Yordania bergerak menggagalkan sebuah usaha PLO di Yordania meruntuhkan kekuasaannya sebagai Raja. Banyak orang Palestina terbunuh dalam konflik yang berlangsung hampir setahun lamanya itu hingga bulan Juli 1971. Hasil akhir dari semua ini adalah pengusiran PLO dan ribuan orang Palestina dari Yordania masuk ke Lebanon.
Tentu saja, konflik itu berkembang dan mempengaruhi berbagai organisasi siswa Arab di Loop College. Saya sangat kecewa dan frustrasi menyaksikan hal ini, karena saya menyadari bahwa tanpa persatuan, tujuan jihad di Amerika tidak akan berhasil. Pada saat itulah saya bergabung dengan Al-Ikhwan – Persaudaraan Muslim.
Persaudaraan Muslim adalah organisasi yang membawahi sejumlah oragnisasi teroris lainnya di seluruh dunia. Saya tidak sendirian saat bergabung dengan Persaudaraan ini; ada ratusan siswa Muslim lain dari seluruh penjuru Amerika yang juga bergabung ketika itu. Saya percaya bahwa bekerja sebagai seorang aktifis untuk Persaudaraan Muslim adalah cara yang terbaik untuk membawa kesatuan diantara orang Muslim; bukan Muslim Palestina atau Muslim Yordania, melainkan satu ummah Muslim – satu komunitas Muslim universal – di bawah satu payung Islam. Hingga akhirnya, seorang sheikh Yordania bernama Jamal Said datang ke Amerika untuk merekrut siswa-siswa. Pertemuan perekrutan itu diadakan di gudang bawah tanah atau dengan menyewa kamar hotel. Para siswa Muslim berkumpul dari seluruh penjuru Amerika untuk menghadiri pertemuan itu dan mendengarkan Sheikh Jamal Said. Jamal memiliki status dan reputasi yang legendaris. Dia adalah sahabat Abdullah Azzam, yang terkenal di seluruh Timur tengah sebagai mentor dari Osama Bin Laden.
Orang seringkali bertanya pada saya apakah menurut saya ada kelompok-kelompok sel teroris yang beroperasi di Amerika.Tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok itu memang ada. Sementara banyak mahasiswa Amerika di tahun 70-an bereksperimen dengan narkoba, memprotes pemerintah mereka, dan berpartisipasi dalam melahirkan gerakan “anak bunga”, mereka tidak memperkirakan adanya revolusi bawah tanah lainnya yang dilahirkan oleh para siswa Muslim radikal di seluruh negeri itu. Di dalam Islam, diajarkan bahwa jika seorang Muslim memasuki sebuah negara untuk menaklukkannya bagi Allah, ada beberapa tahapan sebelum mencapai “invasi” itu jika anda menginginkannya. Itu adalah tahap-tahap awal dari gerakan paling subversif yang akan dialami oleh negara itu. Itulah kelahiran gerakan jihadis di Amerika.
Akhirnya saya pindah ke California, dimana saya bertemu dengan istri saya, seorang Katolik dari Meksiko. Saya ingin mentobatkannya kepada Islam. Saya mengatakan padanya bahwa orang Yahudi telah memalsukan Alkitab dan ia meminta saya untuk menunjukkan beberapa contoh pemalsuan itu. Ia menantang saya: ia menantang saya untuk mempelajari Alkitab itu sendiri supaya saya sendiri melihat apakah semua yang telah diajarkan kepada saya mengenai Alkitab dan orang Yahudi itu benar atau tidak. Itu membuat saya memulai sebuah perjalanan yang mengubah hidup saya secara radikal. Pada saat itu saya harus pergi membeli Alkitab dan saya mulai membacanya dan ada banyak sekali kata “Israel” di dalamnya. Kata yang paling saya benci itu ada dimana-mana di dalam kitab itu. Saya berpikir, bagaimana ini harus dijelaskan? Saya mulai berpikir bahwa orang-orang Yahudi sesungguhnya tidak menyakiti kami tetapi kami membenci mereka dan menuduh mereka melakukan hal-hal yang mengerikan ini.
Ini adalah sebuah perjalanan, yang dalam beberapa waktu lamanya hingga saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya, lebih merupakan sebuah obsesi. Saya akan begadang sampai larut malam dan membaca dengan tekun kitab suci orang Yahudi dan Kristen ini. Saya membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Saya mempelajari sejarah Yahudi. Saya berdoa dan menggumuli hal-hal yang saya temukan. Banyak hal dalam kepercayaan saya yang membentuk dasar-dasar cara berpikir saya yang Islami mulai bertumbangan. Karena dikonfrontasi dengan konflik yang jelas terlihat antara cara saya memandang dunia ini dan agama saya semenjak remaja dan kebenaran Alkitab yang menusuk, lalu saya berdoa mohon bimbingan Tuhan. Pada pertengahan tahun 1990, saya pergi ke reuni keluarga di selatan California, disana terjadi pertengkaran setelah saya membela tokoh Alkitab Rahel, yang disebut oleh paman saya sebagai “pelacur Yahudi”.
“Kamu layak dimusuhi”, kata paman saya, dan mereka melemparkan saya keluar dari rumah.
Saya sadar mereka tidak tahu apa-apa soal sejarah; apa yang mereka ketahui hanyalah propaganda yang dulu selalu diajarkan pada saya.
Pertobatan saya membawa saya untuk meninggalkan kekerasan dan menjadi orang Kristen, tetapi untuk itu ada harga yang harus saya bayar: keluarga saya tidak mau mengakui saya lagi dan saudara saya sendiri mengancam akan membunuh saya karena telah meninggalkan Islam. Sekarang saya berharap bahwa dengan mengatakan kebenaran saya akan membuka mata orang banyak.
Sekarang, saya adalah pendiri Yayasan Walid Shoebat. Misi hidup saya dan cita-cita saya adalah membawa kebenaran tentang orang Yahudi dan Israel ke seluruh dunia, sambil mengijinkan Kristus untuk menyembuhkan jiwa saya melalui pertobatan dan mengupayakan rekonsiliasi. Saya telah berketetapan untuk dengan tidak berlelah berbicara tentang Israel kepada ratusan ribu orang di dunia. Saya bersyukur kepada Tuhan karena Ia memberikan saya kesempatan untuk meminta pengampunan dan berekonsiliasi dengan orang Yahudi dimana pun di seluruh penjuru dunia. Kepada siapa pun yang mau mendengarkan, saya akan menceritakan kisah saya. Sebagai tambahan, walau ada banyak ancaman terhadap hidup saya – termasuk imbalan 10 juta Dollar untuk menangkap dan membunuh saya – saya terus berbicara menentang kebohongan-kebohongan Islam-Nazi yang dulu mengindoktrinasi saya. Jika mereka menangkap saya, saya akan terus bersuara. Ya, hari ini saya mengatakan pada dunia, Saya mengasihi orang Yahudi! Dan saya sangat percaya bahwa orang Yahudi adalah umat pilihan Tuhan yang bertujuan untuk memberi terang kepada orang-orang Arab dan juga seluruh dunia – jika mereka mengijinkan orang Yahudi menerangi mereka.
Mengetahui kebenaran ini telah mengubah cara berpikir saya dari menjadi seorang pengikut Muhammad dan yang mengidolakan Adolf Hitler menjadi seorang yang percaya kepada Yesus Kristus, dari mempercayai kebohongan menjadi mengenal kebenaran, dari sakit secara spiritual menjadi dipulihkan, dari hidup dalam gelap menjadi melihat terang, dari terkutuk menjadi diselamatkan, dari keraguan kepada iman, dari benci menjadi kasih, dari perbuatan-perbuatan jahat kepada anugerah Tuhan di dalam Kristus. Inilah saya hari ini. Terpujilah Tuhan! Saya berharap dengan membaca kesaksian saya dan yang lainnya dalam buku ini anda mulai menyadari bahwa ada peperangan antara yang baik dan yang jahat, dan antara damai dengan terorime, perselisihan antara kebebasan dan neo-fasisme. Sebagaimana yang saya katakan saya berbicara di Universitas Columbia: Hari ini saya berjuang untuk hak semua orang; saya berjuang untuk orang kulit hitam agar dibebaskan dari perbudakan, bagi orang Muslim agar bebas untuk bertobat kepada kekristenan, bagi orang-orang Yahudi yang menolak untuk menjadi Kristen, dan bagi orang-orang atheis untuk mendapatkan haknya menjadi orang atheis. Dan saya akan mati untuk hak kebebasan berbicara bagi semua orang di Amerika Serikat.
Walid Shoebat
Pendiri Yayasan Walid Shoebat
Pengarang Mengapa Saya Meninggalkan Jihad dan Mengapa Kami Ingin Membunuh Anda
bahkan seorang Adolf Hitler pun tidak toleransi pada Yahudi?!?
BalasHapus