Senin, 26 Oktober 2009

Pasal 4 - Wajah Islam Yang Sebenarnya

Pada 11 September 2001, saya melihat wajah Islam yang sebenarnya. Saya melihat kegembiraan di wajah bangsa kami karena ada begitu banyak orang kafir yang dibantai dengan mudahnya....Saya melihat banyak orang mulai bersyukur kepada Allah atas pembantaian massal ini”.

“Pada 11 September”, ujar Khaled, “Saya melihat wajah Islam yang sebenarnya”. Pada 11 September, limabelas dari sembilan belas orang pembajak yang menyerang Amerika Serikat adalah warga negara Arab Saudi. Ditambah lagi, Osama Bin Laden – tersangka utama penyerangan atas World Trade Center dan Pentagon yang memakan korban lebih dari 3000 jiwa – juga kelahiran Saudi, walaupun kewarganegaraannya telah dicopot oleh pemerintah pada tahun 1994. Jadi bagaimana Arab Saudi membuat beberapa warganya merasa bahwa adalah kewajiban mereka untuk melaksanakan misi bunuh diri di belahan dunia lain? Khaled Waleed percaya bahwa apa yang telah diajarkan padanya di mesjid di Arab Saudi sama persis dengan pengajaran yang diterima bin Laden dan itulah sebabnya ada begitu banyak orang muda Muslim di Arab Saudi mendukungnya. Khaled percaya bahwa 11 September mendemonstrasikan wajah Islam yang sebenarnya sebagaimana yang diajarkan di Kerajaan. Kesaksiannya mengundang kita untuk memiliki pemahaman yang lebih jelas mengenai pengajaran-pengajaran itu dan pola pikir dari perancaang-perancang peristiwa 11 September. Khaled mengalami secara langsung pengajaran-pengajaran Islam. Ia tidak percaya bahwa beberapa teroris hanyalah oknum yang merusak Islam. Ia percaya bahwa tindakan-tindakan teroris justru konsisten dengan Islam. Itulah sebabnya mengapa ia meninggalkan Islam. Itulah sebabnya mengapa ia mengingatkan kita agar berdiri melawan Islam. Itulah sebabnya ia mengkhawatirkan masa depan negara-negara Barat.

Kesaksian Khaled

Ketika saya masih kanak-kanak, saya telah terbiasa untuk pergi ke mesjid setiap hari. Saya selalu pergi kesana untuk sembahyang, membaca Qur’an, membaca ahadith, dan mempelajari tafsir.


Guru kami dan sarjana-sarjana Islam lainnya mengatakan kepada kami bahwa sebagai seorang Muslim, kami adalah umat yang paling hebat di dunia. Kami juga diberitahu bahwa Muslim Arab Saudi adalah satu-satunya Muslim sejati di dunia, dan dengan demikian, dunia harus meneladani kami (orang Muslim Saudi). Tanpa bertanya lagi, kami benar-benar mampercayai para sarjana Islam itu dan heran mengapa, walau ada anjuran seperti itu, dunia dan sebahagian besar orang tidak meniru kami.

Kami sangat bangga karena kamilah Muslim sejati

Sekarang, menurut saya ini adalah sebuah kebohongan.

Para pembaca sekalian, saya berani bersumpah bahwa apa yang saya pelajari di mesjid adalah sama persis dengan apa yang dipelajari bin Laden. Bisa saja anda mengatakan bahwa dia adalah sosok Muslim yang ideal. Percayalah pada saya, hampir semua rakyat kami (di Arab Saudi) mendukungnya dan sangat mengasihinya. Kita tidak dapat menyalahkan bin Laden akan hal ini; sebaliknya, kita harus menyalahkan Islam, agama dari bin Laden. Dia semata-mata hanya mengikuti agamanya huruf per huruf. Tidak diragukan lagi, dia adalah seorang Muslim sejati.

Kisah saya meninggalkan Islam dimulai ketika saya masih kelas 5. Saya membaca Surah al-kahf, ayat 86 (18:86) ketika Zu-Alqarnain telah mencapai titik terbenamnya matahari, disana ia mendapati banyak orang yang menderita oleh karena panas yang amat sangat. Ini karena mereka berada terlalu dekat dengan matahari. Hal yang sama terjadi padanya ketika matahari terbit.

Saya mulai berpikir: Bumi ini tidak datar; bumi ini hampir sama seperti bola, jadi bagaimana mungkin ia dapat mencapai ujung bumi? Saya menanyakan hal ini pada guru saya. Ia jadi bingung dengan pertanyaan saya itu. Ia tidak memberikan jawaban. Ia hanya mengatakan bahwa yang penting saya harus mempercayai apa yang dikatakan Qur’an.

Inilah awal kecurigaan saya terhadap kebenaran di dalam Qur’an.

Kemudian saya sangat terkejut ketika saya menemukan bahwa jika saya ingin menjadi seorang Muslim yang baik saya harus menjauhi orang-orang non-Muslim. Saya lebih terkejut lagi ketika saya mendapati bahwa jika saya mengasihi orang-orang non-Muslim saya akan menjadi seorang kafir.

Saya suka melakukan banyak hal, termasuk nonton di bioskop, mendengarkan musik, dan berteman dengan atlet dan penyanyi – umumnya mereka bukan Muslim. Artinya sebenarnya saya sudah menjadi kafir. Saya diajari bahwa, supaya dapat masuk surga, saya harus benar-benar mengasihi Nabi Muhammad, yang belum pernah saya lihat, lebih dari siapapun, kalau tidak maka saya akan masuk neraka. Saya sangat dibingungkan.

Saya mendengarkan para Imam yang mengajar saya dan saya terusik ketika mereka menggunakan bahasa yang kasar dengan menggambarkan bahwa orang-orang non-Muslim adalah anak cucu monyet dan babi. Saya berpikir jika seseorang berdosa, mestinya itu bukan masalah kita; Allah, pada waktu yang sudah ditentukan-Nya, akan menghukum orang itu. Mengapa para imam kami harus menghukum mereka dengan cara yang sangat keji seperti itu?

Lagi-lagi saya terkejut, banyak teman-teman Muslim saya dan para imam kami mengatakan kepada saya bahwa adalah tugas saya untuk menjahati dan menghina orang-orang non-Muslim, karena mereka adalah musuh Muslim. Ketika saya menolak untuk menuruti ajaran Islam untuk mencemoohkan orang-orang kafir, mereka mencap saya sebagai seorang Muslim yang lemah. Mereka bahkan memberitahu saya bahwa seorang asing yang Muslim lebih baik daripada seorang sahabat kafir yang telah lama dikenal dan dipercayai.

Namun, saya berkeras dengan pertanyaan-pertanyaan saya – saya tidak akan membiarkannya tidak terjawab. Pertanyaan terpenting dalam pikiran saya adalah: Bagaimana mungkin ada “Tuhan” yang mengklaim diri-Nya sebagai maha pemurah tapi pada saat yang sama memerintahkan para pengikut-Nya untuk saling membenci? Mengapa “Tuhan” harus mengancam untuk membakar dan menyiksa orang yang tidak percaya kepada-Nya? Apakah Ia benar-benar memerlukan hal itu? Sepenting itukah kita harus menyembah Dia?

Saya mulai memikirkan hal ini secara mendalam. Saya mempelajari Qur’an dan menemukan bahwa takdir semua orang telah ditentukan oleh Tuhan. Tuhan telah menentukan siapa saja yang akan masuk neraka dan siapa saja yang akan masuk surga! Oleh karena itu, secara logis, manusia tidak perlu berdoa. Ketika saya menanyakan hal ini kepada teman-teman saya yang religius, mereka jadi marah. Mereka bertanya pada saya bagaimana saya bisa tahu kalau nantinya saya akan masuk surga atau masuk neraka. Saya mengatakan pada mereka, oleh karena takdir kita telah ditentukan Tuhan, maka berdoa atau tidak, tidak ada bedanya.

Pikir mereka saya sudah gila karena saya meragukan Allah dan Qur’an.

Inilah awal saya membenci Islam. Namun, saya tidak berdaya. Dalam masyarakat tempat saya tinggal, saya tidak dapat secara terbuka melakukan hal-hal yang menentang Islam.

Pada tahun 1999, ibu saya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ini adalah titik balik dalam hidup saya. Saya berpikir: Kami, orang Muslim, bukanlah umat yang terhebat di dunia. Sama seperti manusia lain, kami juga jatuh sakit dan mati. Saya juga menyimpulkan bahwa jika kami bekerja keras maka kami akan berhasil; jika tidak, maka kami juga akan gagal. Hal-hal seperti “kehendak Allah” itu tidak ada. Tidak ada yang istimewa untuk orang Muslim.

Ketika saya memperhatikan dunia Islam, yang saya temukan hanyalah ketidakadilan semata, diskriminasi yang luarbiasa terhadap wanita dan orang kafir, kejahatan dan pelecehan terhadap hak-hak azasi manusia, ditambah lagi korupsi politik yang mutlak di negara-negara Islam. Kenyataannya, tidak ada hal yang baik yang dapat disebutkan di dalam dunia Islam. Pada umunya dunia Islam berada dalam masalah besar, sedangkan di negara-negara non-Muslim lebih ada damai, kemakmuran dan kebebasan.

Saya bertanya pada diri saya sendiri, “Apakah penyebab dari semua ini?” Jawaban yang ada untuk saya hanyalah: Islam.

Walaupun kebencian saya terhadap Islam semakin bertambah, saya tidak dapat meninggalkannya. Saya masih belum dapat membawa diri saya kepada realita bahwa Islam dapat menjadi seburuk itu. Saya berpikir mungkin masalahnya terletak pada umatnya dan bukan agamanya.

Namun, pada 11 September 2001, saya melhat wajah Islam yang sesungguhnya. Saya melihat kegembiraan di wajah bangsa kami karena ada begitu banyak orang kafir yang dibantai dengan mudahnya. Saya syok melihat rakusnya bangsa kami membunuhi orang-orang kafir yang tidak berdosa. Saya melihat banyak orang mulai bersyukur kepada Allah atas pembantaian massal ini. Bangsa kami yang islami ini berkata bahwa Allah telah mengabulkan permohonan kami, dan ini adalah awal penghancuran negara-negara kafir.

Bagi saya, ini sama sekali tidak berperikemanusiaan.

Kemudian, imam memohon kepada Allah agar menolong Taliban memerangi tentara Amerika. Saya marah. Sejak itulah saya berhenti sembahyang.

Pada tahun 2007, saya bertemu dengan manajer saya seorang Pakistan, yang menurut saya adalah seorang yang anti Islam. Dia membuat saya merasa lagi bahwa saya adalah seorang manusia. Dia meyakinkan saya bahwa sebenarnya saya tidak gila. Saya tidak lagi pergi ke mesjid, saya berhenti sembahyang, saya tidak menjalankan ibadah puasa. Bulan Ramadan silam saya tidak berpuasa seharipun.

Sekarang saya merasa bahagia dan lega. Saya dapat menonton film dan mendengarkan musik tanpa rasa bersalah atau takut. Saya merasa benar-benar sebagai seorang manusia dan saya bebas melakukan apa yang saya inginkan. Mulai dari sekarang, saya akan menceritakan kebenaran tentang agama Islam yang jahat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar