“Hukum Islam Saudi Arabia membuat para wanita hanya bernilai seperti barang bergerak milik kaum pria, yang dipaksa untuk melayani pria, dan yang martabat, kehormatan, dan penghargaan yang layak mereka terima sebagai kaum wanita telah dirampas. Bisa dikatakan bahwa Islam telah mengguncangkan dan mempermalukan pondasi dasar dari kewanitaan.”
Salah satu aspek yang paling memalukan dari Islam adalah perlakuannya terhadap kaum wanita. Hal ini merajela berlaku di negara-negara Islam. Agar kita bisa mengerti kisah Walid, adalah penting untuk memahami dengan benar bagaimana kehidupan kaum wanita di Saudi Arabia. Kendati masyarakat Internasional menjadi sangat geram ketika wanita-wanita Saudi dihukum dengan cambukan, tetapi masih banyak juga orang yang masih sangat sulit mengerti penindasan-penindasan lainnya yang harus dialami oleh wanita-wanita Saudi. Tak ada yang lebih nyata jika dibandingkan dengan hukum-hukum dan pandangan-pandangan terhadap kaum wanita sebagaimana yang berlaku di Kerajaan ini. Adalah hal yang menyedihkan bahwa wanita dilarang mengemudikan mobil di Saudi Arabia; meskipun bulan Januari 2008 sebuah peraturan baru yang mengijinkan wanita untuk menginap di hotel sendirian telah diberlakukan. Meskipun demikian, banyak sekali hak-hak kaum wanita yang dilanggar, dan hal ini bisa menolong kita untuk memahami sistem dalam Kerajaan itu sendiri. Mengapa banyak negara-negara Barat tetap menjalin hubungan dengan Saudi Arabia, dan mengapa raja Saudi masih diterima di Istana Buckingham dan di Camp David?
Di Saudi Arabia, wanita hanya memiliki sedikit hak, jika hal itu bisa dikategorikan sebagai hak. Di McDonald, wanita memesan dari satu sisi counter yang terpisah dan menghilang dengan makanan mereka ke bagian yang disebut “ruangan keluarga”. Pria memesan dari sisi yang lain, kemudian mereka bisa duduk sambil menikmati makanannya di tempat dimana mereka bisa memandang ke segala arah.
Karena Saudi Arabia adalah sebuah negara Islam konservatif tanpa gedung bioskop, bar, disko; maka orang-orang Saudi cenderung menghabiskan waktu mereka berjalan-jalan di mall. Namun dari semua kegemerlapan gaya Barat yang mereka miliki, tampaknya mall-mall di Ryadh juga merefleksikan budaya Saudi, dengan ketentuan bahwa para wanita harus menutupi tubuh mereka – bahkan di cover-cover cd pun tetap terjadi segregasi berdasarkan kelamin.
Bahkan mencoba pakaian pun menjadi hal yang sulit bagi wanita Saudi yang harus menyerahkan uang deposit sebelum bisa membawa pakaian itu ke kamar pas. Meskipun reformasi untuk merubah segregasi tengah berlangsung, Saudi Arabia masih tetap menjadi salah satu negara dengan masyarakat yang paling konservatif, ada yang mengatakan negara yang paling represif di dunia.
Mengapa hal ini menjadi urusan kita yang hidup di Barat? Terlepas daripada isu mengenai kekerasan terhadap hak-hak kemanusiaan, kecenderungan bahwa hal seperti ini akan terjadi di negara-negara Barat sedang muncul! Sementara populasi Muslim di negara-negara Barat semakin besar, maka seruan mereka agar hukum Islam diberlakukan di situ pun semakin nyaring terdengar.
Bagi perempuan Saudi, hidup bukanlah sesuatu yang mudah, dimana mereka hanya dianggap sebagai properti para pria dan mereka harus tinggal di bawah hukum-hukum Saudi yang keras. Seringkali wanita dibatasi untuk hanya boleh ada di dalam rumah atau di rumah teman-teman wanita mereka. Seringkali mereka hanya bisa berhubungan dengan dunia luar melalui internet. Sebab kecuali mereka ada bersama dengan pasangan atau keluarga mereka, wanita di Saudi Arabia tidak boleh mengunjungi rumah pria lain dan tidak diijinkan terlihat bersamanya di hadapan publik. Pada hakekatnya wanita Saudi Arabia adalah masyarakat kelas dua. Ketika menikah maka mereka harus menikah dengan orang yang sudah dipilihkan untuk mereka. Jika mereka tidak menikah, mereka menjadi mahluk yang tidak disukai. Ketidakadilan ini terus berlangsung di Saudi Arabia sehingga Whalid menawarkan kesaksiannya mengenai pergumulan-pergumulan yang sedang dihadapi oleh saudari-saudarinya di Kerajaan ini.
Yang berikutnya, anda akan membaca kesaksian Whalid yang memberitahukan kepada kita bagaimana seorang ayah bisa berubah menjadi orang yang menentang anak-anak perempuannya sendiri. Islam mengijinkan hal ini bahkan mendorong hal ini. Dan hal ini semakin menambahkan alasan kepada kita mengapa kita harus menentang keras cara-cara Islam yang represif yang berusaha untuk merubah budaya Barat.
Banyak orang berkata bahwa Islam menghormati dan menghargai kaum wanita. Tetapi dalam pengalaman saya, saya menemukan bahwa yang mereka katakan itu sepenuhnya dusta. Sebagai seorang asli Saudi Arabia, saya menyaksikan sendiri betapa hinanya perlakuan masyarakat Islam kami terhadap kaum wanita. Dalam kesaksian ini saya akan menceritakan kesaksian saya mengenai penindasan dan perlakuan keji terhadap wanita-wanita kami, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Setiap kata yang saya tulis sepenuhnya benar – tak satupun yang hanya karangan saja atau dilebih-lebihkan. Tak seorang pun memaksa saya untuk menuliskan kisah ini, sebab saya dilahirkan sebagai seorang Saudi dan saya pun tinggal di negara ini.
Saya memiliki 3 saudara perempuan. Mereka sangat termotivasi untuk mempunyai pendidikan yang tinggi, dan dengan usaha mereka sendiri, mereka mengejar pendidikan modern. Tetapi disebabkan oleh banyaknya peraturan-peraturan yang tidak masuk akal, kadaluarsa dan tidak adil yang diberlakukan oleh masyarakat kami terhadap kaum wanita, maka mereka tidak bisa menyelesaikan bidang studi yang mereka pilih. Terlepas dari perhatianku yang tulus, maka aku sendiri tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu mereka mendapatkan pendidikan yang tepat. Tanganku terikat, masyarakat kami tidak mau menerima wanita dengan pendidikan tinggi.
Salah seorang saudara perempuanku menyelesaikan SMP, kemudian ia berhenti sekolah sebab ia ingin mempelajari bidang kecantikan. Tetapi di masyarakat Islam yang murni seperti di negara kami, bukanlah hal yang mudah baginya untuk mengejar ambisinya menjadi seorang terapis kecantikan.
Kedua saudara perempuanku yang lainnya ingin menjadi guru di sekolah. Karena itu mereka meneruskan pendidikan dan menyelesaikan Tingkat dua di perguruan tinggi.
Saya sangat ingat ketika mereka sedang belajar di perguruan tinggi , di kartu pengenal mereka tertulis nama mereka, tetapi foto di kartu itu adalah wajah ayah kami! Hal ini berarti bahwa saudara perempuanku tidak memiliki eksistensi secara fisik. Hanya nama mereka saja yang eksis, yaitu di selembar kertas. Para pembaca, jangan kaget dengan perlakuan yang mengejutkan seperti ini terhadap para wanita kami – mereka sama nilainya seperti binatang peliharaan – selalu dimiliki oleh seseorang. Keberadaan mereka tidak seperti manusia. Hukum di Saudi Arabia, melarang wanita untuk menaruh foto mereka di kartu pengenal mereka; melainkan foto ayah, saudara laki-laki, suami, atau penjaga merekalah yang harus dipasang di kartu itu.
Kendati demikian, setelah menyelesaikan training guru mereka, kedua saudara perempuanku ini harus menunggu pekerjaan yang hanya akan mereka dapatkan di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka tidak boleh keluar dari kontrol ayah kami. Jika mereka berani melakukannya, maka mereka tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan.
Sebagai seorang saudara yang memiliki hati nurani, saya sangat percaya bahwa saudara-saudara perempuanku adalah orang-orang yang memiliki hikmat dan bertanggungjawab, lebih daripada banyak orang yang ada di lingkungan kami, bahkan lebih daripada saya. Saya sangat yakin jika mereka diberikan kesempatan untuk hidup dan mengatur hidup mereka sendiri, maka mereka pasti sukses tanpa masalah. Pada kenyataannya, mereka sanggup untuk menyelesaikan lebih banyak tugas-tugas yang sulit daripada yang bisa dilakukan oleh kebanyakan daripada kita.
Tetapi celaka! Ketiga wanita berpendidikan, berhikmat, bertanggungjawab, dan berambisi ini dipaksa harus tinggal di rumah oleh ayah mereka yang buta huruf. Ia tidak mengetahui apa pun mengenai dunia yang ada di luar rumah. Ia tidak melihat pentingnya mengembangkan dan membangun masyarakat. Dan ia memaksa saudara-saudara perempuan saya untuk hidup dalam batasan-batasan kehidupannya.
Ayah yang buta huruf ini melarang mereka (saudara-saudara perempuanku) untuk menikah. Hal ini ia lakukan karena ia menuntut seorang pengantin pria yang tidak merokok, penganut Islam yang kuat dari suku yang sama dengannya. Tuntutan ayah kami membuat masa depan saudara-saudara perempuanku menjadi suram.
Dalam masyarakat kami yang sangat kuat menganut Islam, semua pria perokok dan tidak sembahyang secara regular di mesjid dianggap bukan pasangan yang cocok untuk dinikahi. Sebagai sebuah peraturan buta, seorang pria yang akan menikah harus memiliki paling tidak dua orang saksi yang siap bersumpah bahwa ia tahu persis jika pria yang akan menikah itu memang benar-benar sembahyang secara regular di mesjid. Kondisi ini begitu penting dalam masyarakat Saudi dimana kegagalan memiliki dua orang saksi seperti ini dapat mengakibatkan dibatalkannya pertunangan. Lebih penting lagi, seorang wanita Saudi dari sebuah suku tidak diijinkan menikah dengan wanita lain dari suku berbeda, atau dari bangsa yang berbeda, meski pun pria itu adalah seorang Muslim. Lupakanlah bagi seorang wanita Saudi untuk menikahi seorang non-Muslim – ini haram hukumnya.
Dalam suku kami jumlah wanita 2 atau 3 kali daripada pria. Hal ini berarti bahwa banyak dari wanita-wanita kami tidak akan pernah menikah, sebab menikahi orang dari luar suku kami sama sekali tidak diperkenankan. Dalam masyarakat kami, pria-pria lebih suka menikahi wanita yang lebih muda dari dua puluh tahun. Mereka bahkan lebih suka jika gadis-gadis itu berusia sekitar enam belas tahun atau bahkan lebih muda lagi. Kesimpulan dari hasrat yang tak masuk akal untuk mendapatkan gadis-gadis muda adalah bahwa prospek untuk menikah bagi wanita-wanita yang lebih tua dari dua puluh tahun nyaris nol. Atau mereka mungkin akan menikah tetapi dengan pria yang lebih tua.
Karena peraturan Islamik yang gila ini, hidup dari para wanita yang sudah matang seperti itu tidak lagi memiliki makna di masyarakat puritan kami.
Sekarang saya ingin membahas mentalitas ayah saya dan coba memperlihatkan alasan utama mengapa ia tidak ingin anak-anak perempuannya menikah dengan orang asing (yang saya maksudkan adalah para pria dari suku atau kebangsaan yang lain).
Para pria Saudi sangat percaya bahwa wanita tidak memiliki harapan-harapan, keinginan, dan aspirasi dari dalam diri mereka sendiri. Karena itu, berhubungan dengan pernikahan, maka pendapat wanita dianggap tidak relevan. Nasibnya sepenuhnya bergantung pada pemiliknya. Para pria Saudi juga menganggap sebagai hal yang memalukan menyerahkan putri mereka untuk dinikahi oleh seorang pria asing – di luar batas dari sukunya. Sulit bagi seorang pria Saudi menerima orang luar yang dapat memandang “kehormatan” rahasia dari putri-putri mereka. Pria Saudi akan merasa keberatan jika anak perempuan mereka melakukan hubungan seks dengan orang asing, meskipun hal itu dilakukan setelah mereka menikah, dan meskipun pengantin pria nya adalah seorang Muslim. Jadi inilah alasan sehingga ayah saya tidak akan mengijinkan anak perempuannya menikahi “orang asing”. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa ia mengidap penyakit paranoid bahwa “orang asing” akan berhubungan seks dengan anak perempuannya.
Untuk alasan sebagaimana diutarakan di atas, banyak ayah Saudi yang meminta pernikahan ganda – yaitu: berikan kepada saya anak perempuanmu dan aku akan memberikan kepadamu anak perempuanku atau saudara perempuanku....dan begitu seterusnya. Mereka merasa nyaman melakukan cara seperti ini: Bahwa kami akan menjaga kehormatannya jika ia menjaga kehormatan saya. Inilah yang dilakukan orang-orang dalam masyarakat kami yaitu memanfaatkan wanita untuk keuntungan mereka sendiri – ketika mereka membutuhkan uang, atau ketika mereka membutuhkan isteri-isteri baru. Ada sejumlah wanita Saudi yang menghasilkan uang, tetapi uang yang mereka hasilkan pergi ke kantung ayah atau suami-suami mereka. Karena takut bahwa gaji dari anak perempuan mereka mungkin tidak cukup bagi suami-suami mereka, banyak ayah Saudi yang tidak mau anak perempuan mereka menikah. Bagi saya, ini mungkin alasan lain mengapa ayah saya secara literal melarang saudara perempuan saya untuk menikah.
Jika demikian, bagaimana saudari-saudari kandungku hidup dalam masyarakat seperti ini?
Sebagai wanita Saudi, saudari-saudari kandungku telah melalui banyak penderitaan. Mereka tidak memiliki hak untuk mengatur hidup mereka sendiri. Mereka sepenuhnya bergantung pada ayah kami, kepadaku, dan kepada saudara-saudara laki-laki mereka yang lain. Mereka tidak boleh pergi kemana pun sendirian. Kapan saja seseorang dari mereka harus bepergian ke luar, maka beberapa orang pria (saudara laki-laki atau ayah) harus menemaninya sebagai pelindung dan yang mengingatkannya. Bahkan mereka dilarang pergi ke luar untuk keperluar-keperluan mendesak seperti misalnya jika ada kecelakaan, keadaan darurat, dan lain sebagainya. Percayalah pada apa yang saya katakan, ketika mereka perlu untuk pergi ke rumah sakit, maka mereka harus menelepon saudara laki-laki saya untuk mengantar mereka ke sana. Dan ia harus datang dari kota lain yang jauhnya 300 km. Sebab para wanita tidak bisa mengemudikan mobil (wanita di Saudi Arabia dilarang mengendarai mobil dan dilarang bepergian dengan orang yang bukan muhrimnya), dan ayahku pun tidak bisa mengemudikan mobil, maka saudara perempuan saya tak punya pilihan lain selain harus menjalani siksaan itu tanpa bisa protes. Tak peduli seberapa penting urusannya, mereka tetap harus menunggu muhrim mereka (dalam hal ini saudara laki-laki kandung mereka) untuk membawa mereka ke rumah sakit.
Tidak ada jalan keluar bagi mereka. Karena ayah kami tidak tahu bagaimana menggunakan ATM, ketika saudara perempuan saya ingin menarik uang dari ATM, maka ia harus memberikan kartu ATM nya kepada seorang asing untuk mengambilkan uang baginya. Ketika saudara perempuan saya ingin berbelanja secara regular, maka mereka harus memberikan uang itu kepada seorang asing dan pria itu akan membayar harga barang sesuai dengan yang pria itu inginkan. Ini adalah beberapa contoh dari keadaan yang menyedihkan yang harus dihadapi oleh perempuan Saudi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Terkadang saya berpikir untuk meninggalkan pekerjaan, hanya supaya saya bisa tinggal bersama-sama dengan mereka.
Jadi mungkin anda berkata: Mengapa tidak membawa mereka keluar dari Saudi Arabia? Hal ini mustahil dilakukan. Di Saudi Arabia, untuk mendapatkan pasport, seorang perempuan harus menyerahkan ijin tertulis dari muhrimnya (ayah, saudara laki-laki kandung, atau suami). Hanya memiliki sebuah pasport tidak cukup bagi seorang perempuan Saudi untuk melakukan perjalanan sendiri. Ayahnya (seandainya ia belum menikah) harus menandatangani sebuah surat khusus yang menyatakan bahwa ia memberi ijin kepada anak perempuannya untuk bepergian seorang diri. Sebagai seorang yang buta huruf, ayahku tidak akan pernah mengijinkan saudara perempuanku untuk meninggalkan Saudi Arabia; saya sangat yakin akan hal ini.
Terkadang, saya benar-benar heran mengapa penyiksaan yang sangat berat untuk ditanggung harus diterapkan kepada wanita-wanita kami. Saudari-saudariku tidak bisa melakukan apa pun tanpa ijin dan pertolongan dari ayah atau saudara laki-laki mereka. Hampir di sepanjang waktu mereka harus tinggal di rumah, menonton televisi. Tak ada olah raga yang bisa mereka mainkan, tak ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan di luar rumah, tak ada harapan, dan tak ada apa pun yang bisa mereka hidupi. Mereka berada di penjara terbesar yang ada dalam dunia ini, yaitu Saudi Arabia, sebuah negeri yang murni, negeri Islam tanpa perselingkuhan.
Seseorang mungkin bertanya seperti ini: Mengapa hal-hal ini terjadi pada perempuan Saudi? Siapa yang harus dipersalahkan atas cobaan berat yang dilakukan kepada para wanita kami? Memang mudah untuk mempersalahkan orang-orang pandir, hukum Saudi yang tidak waras, dan tradisi-tradisi kuno yang diterapkan pada wanita-wanita kami yang kondisinya tanpa harapan. Tetapi coba pikirkan kembali. Semua faktor-faktor ini sebenarnya berakar dalam Islam. Islam sendirilah yang nyata-nyata melakukan kejahatan ini. Hukum-hukum Islam di Saudi Arabialah yang menetapkan posisi wanita Saudi tak lebih dari sekedar barang bergerak milik pria, memaksa mereka untuk melayaninya, dan sepenuhnya merampas martabat, kehormatan, dan penghargaan yang sebenarnya adalah hak mereka sebagai kaum wanita. Bisa dikatakan bahwa Islam telah mengguncangkan dan mempermalukan pondasi dasar dari kewanitaan.
Islam memberikan otoritas mutlak bagi seorang ayah untuk mengontrol putri-putri mereka. Ia memiliki kontrol mutlak untuk menikahkan mereka, melarang mereka dari kehidupan sosial, bahkan membunuh mereka. Anda mungkin akan syok ketika mempelajari bahwa seorang ayah Saudi dapat membunuh anak perempuannya tanpa dianggap bersalah oleh hukum. Ketahuilah bahwa ketika ia membunuh anak perempuannya, pemerintah tidak akan membunuh ayah itu sebab anak perempuan itu melambangkan kejujurannya. Berdasarkan syaria, pemerintah tidak diijinkan membunuh seorang ayah jika ia membunuh anak perempuan atau anak laki-lakinya atas alasan apa pun.
Dalam Islam, seorang wanita tidak diijinkan menikah tanpa ijin dari ayahnya – jika ia melakukannya maka tindakan itu dianggap haram. Dalam Islam, ayah dianggap sebagai seorang yang suci, seorang komandan, dan seorang diktator yang gampang marah. Meskipun ia seorang buta huruf, keras kepala, tidak adil, dan tidak berpikiran sehat, anak-anaknya, khususnya anak perempuannya, tidak bisa melakukan apa pun menentangnya.
Jadi, apa yang harus saya lakukan?
Jawaban langsung atas pertanyaan itu adalah: TAK ADA! Saya tidak bisa melakukan apa pun untuk merubah situasi ini. Jika saya menentang ayah saya, maka hakim agama akan bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak mengijinkan anak-anak gadismu untuk menikah?” Maka kemungkinkan jawaban ayah saya adalah sbb: “Anak-anak gadis ini adalah tanggungjawabku (mereka ada di bawah pengawasanku), dan Allah akan menghukum aku jika aku tidak memilihkan suami yang baik untuk mereka.” Sebagai bukti atas usahanya yang tulus, ia mungkin akan menunjukkan bukti bahwa semua pria yang ia cari adalah perokok dan ia pun mungkin akan membawa saksi yang menyatakan bahwa para pria itu adalah para Muslim yang tidak berdoa di mesjid. Hal ini sepenuhnya akan meyakinkan hakim Islamik itu. Ia tidak akan menemukan dasar untuk menghukum ayah kami; sebaliknya, ia akan menjatuhkan penghukuman kepadaku sebab tidak menghormati ayahku dan keputusan-keputusannya.
Dengan kesedihan dan frustasi dalam hati saya, maka aku hanya bisa menanti dengan sabar hingga ayah kami mati. Jika ia sudah mati, secara otomatis kontrol atas saudara perempuanku akan jatuh kepada saya. Kepemilikan resmi sepenuhnya akan menjadi milik saya.
Saya akan menjadi pemilik baru atas hidup mereka – sama seperti mobil, rumah, kambing, unta, dan lain sebagainya. Kemudian saya akan sepenuhnya bebas untuk melakukan apa pun yang saya inginkan atas mereka – Islam memberikan saya semua otoritas itu. Saya bisa membawa mereka ke surga atau ke neraka – semuanya bergantung pada saya.
Para pembaca, jangan merasa kasihan atau menyesal untuk saudara-saudara perempuan saya. Dibandingkan dengan banyak perempuan Saudi lainnya, mereka masih cukup beruntung – mereka masih bisa mengunjungi shopping center sekali atau dua kali setahun. Mereka juga masih bisa mengenakan make up dan bahkan masih bisa mendengarkan musik. Kebebasan terbesar yang masih mereka miliki adalah bahwa mereka masih bisa memilih saluran televisi apa pun yang mereka sukai. Bagi banyak wanita Saudi, ini sudah merupakan hak yang besar, jika anda belum mengetahuinya.
Salah satu aspek yang paling memalukan dari Islam adalah perlakuannya terhadap kaum wanita. Hal ini merajela berlaku di negara-negara Islam. Agar kita bisa mengerti kisah Walid, adalah penting untuk memahami dengan benar bagaimana kehidupan kaum wanita di Saudi Arabia. Kendati masyarakat Internasional menjadi sangat geram ketika wanita-wanita Saudi dihukum dengan cambukan, tetapi masih banyak juga orang yang masih sangat sulit mengerti penindasan-penindasan lainnya yang harus dialami oleh wanita-wanita Saudi. Tak ada yang lebih nyata jika dibandingkan dengan hukum-hukum dan pandangan-pandangan terhadap kaum wanita sebagaimana yang berlaku di Kerajaan ini. Adalah hal yang menyedihkan bahwa wanita dilarang mengemudikan mobil di Saudi Arabia; meskipun bulan Januari 2008 sebuah peraturan baru yang mengijinkan wanita untuk menginap di hotel sendirian telah diberlakukan. Meskipun demikian, banyak sekali hak-hak kaum wanita yang dilanggar, dan hal ini bisa menolong kita untuk memahami sistem dalam Kerajaan itu sendiri. Mengapa banyak negara-negara Barat tetap menjalin hubungan dengan Saudi Arabia, dan mengapa raja Saudi masih diterima di Istana Buckingham dan di Camp David?
Di Saudi Arabia, wanita hanya memiliki sedikit hak, jika hal itu bisa dikategorikan sebagai hak. Di McDonald, wanita memesan dari satu sisi counter yang terpisah dan menghilang dengan makanan mereka ke bagian yang disebut “ruangan keluarga”. Pria memesan dari sisi yang lain, kemudian mereka bisa duduk sambil menikmati makanannya di tempat dimana mereka bisa memandang ke segala arah.
Karena Saudi Arabia adalah sebuah negara Islam konservatif tanpa gedung bioskop, bar, disko; maka orang-orang Saudi cenderung menghabiskan waktu mereka berjalan-jalan di mall. Namun dari semua kegemerlapan gaya Barat yang mereka miliki, tampaknya mall-mall di Ryadh juga merefleksikan budaya Saudi, dengan ketentuan bahwa para wanita harus menutupi tubuh mereka – bahkan di cover-cover cd pun tetap terjadi segregasi berdasarkan kelamin.
Bahkan mencoba pakaian pun menjadi hal yang sulit bagi wanita Saudi yang harus menyerahkan uang deposit sebelum bisa membawa pakaian itu ke kamar pas. Meskipun reformasi untuk merubah segregasi tengah berlangsung, Saudi Arabia masih tetap menjadi salah satu negara dengan masyarakat yang paling konservatif, ada yang mengatakan negara yang paling represif di dunia.
Mengapa hal ini menjadi urusan kita yang hidup di Barat? Terlepas daripada isu mengenai kekerasan terhadap hak-hak kemanusiaan, kecenderungan bahwa hal seperti ini akan terjadi di negara-negara Barat sedang muncul! Sementara populasi Muslim di negara-negara Barat semakin besar, maka seruan mereka agar hukum Islam diberlakukan di situ pun semakin nyaring terdengar.
Bagi perempuan Saudi, hidup bukanlah sesuatu yang mudah, dimana mereka hanya dianggap sebagai properti para pria dan mereka harus tinggal di bawah hukum-hukum Saudi yang keras. Seringkali wanita dibatasi untuk hanya boleh ada di dalam rumah atau di rumah teman-teman wanita mereka. Seringkali mereka hanya bisa berhubungan dengan dunia luar melalui internet. Sebab kecuali mereka ada bersama dengan pasangan atau keluarga mereka, wanita di Saudi Arabia tidak boleh mengunjungi rumah pria lain dan tidak diijinkan terlihat bersamanya di hadapan publik. Pada hakekatnya wanita Saudi Arabia adalah masyarakat kelas dua. Ketika menikah maka mereka harus menikah dengan orang yang sudah dipilihkan untuk mereka. Jika mereka tidak menikah, mereka menjadi mahluk yang tidak disukai. Ketidakadilan ini terus berlangsung di Saudi Arabia sehingga Whalid menawarkan kesaksiannya mengenai pergumulan-pergumulan yang sedang dihadapi oleh saudari-saudarinya di Kerajaan ini.
Yang berikutnya, anda akan membaca kesaksian Whalid yang memberitahukan kepada kita bagaimana seorang ayah bisa berubah menjadi orang yang menentang anak-anak perempuannya sendiri. Islam mengijinkan hal ini bahkan mendorong hal ini. Dan hal ini semakin menambahkan alasan kepada kita mengapa kita harus menentang keras cara-cara Islam yang represif yang berusaha untuk merubah budaya Barat.
Banyak orang berkata bahwa Islam menghormati dan menghargai kaum wanita. Tetapi dalam pengalaman saya, saya menemukan bahwa yang mereka katakan itu sepenuhnya dusta. Sebagai seorang asli Saudi Arabia, saya menyaksikan sendiri betapa hinanya perlakuan masyarakat Islam kami terhadap kaum wanita. Dalam kesaksian ini saya akan menceritakan kesaksian saya mengenai penindasan dan perlakuan keji terhadap wanita-wanita kami, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Setiap kata yang saya tulis sepenuhnya benar – tak satupun yang hanya karangan saja atau dilebih-lebihkan. Tak seorang pun memaksa saya untuk menuliskan kisah ini, sebab saya dilahirkan sebagai seorang Saudi dan saya pun tinggal di negara ini.
Saya memiliki 3 saudara perempuan. Mereka sangat termotivasi untuk mempunyai pendidikan yang tinggi, dan dengan usaha mereka sendiri, mereka mengejar pendidikan modern. Tetapi disebabkan oleh banyaknya peraturan-peraturan yang tidak masuk akal, kadaluarsa dan tidak adil yang diberlakukan oleh masyarakat kami terhadap kaum wanita, maka mereka tidak bisa menyelesaikan bidang studi yang mereka pilih. Terlepas dari perhatianku yang tulus, maka aku sendiri tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu mereka mendapatkan pendidikan yang tepat. Tanganku terikat, masyarakat kami tidak mau menerima wanita dengan pendidikan tinggi.
Salah seorang saudara perempuanku menyelesaikan SMP, kemudian ia berhenti sekolah sebab ia ingin mempelajari bidang kecantikan. Tetapi di masyarakat Islam yang murni seperti di negara kami, bukanlah hal yang mudah baginya untuk mengejar ambisinya menjadi seorang terapis kecantikan.
Kedua saudara perempuanku yang lainnya ingin menjadi guru di sekolah. Karena itu mereka meneruskan pendidikan dan menyelesaikan Tingkat dua di perguruan tinggi.
Saya sangat ingat ketika mereka sedang belajar di perguruan tinggi , di kartu pengenal mereka tertulis nama mereka, tetapi foto di kartu itu adalah wajah ayah kami! Hal ini berarti bahwa saudara perempuanku tidak memiliki eksistensi secara fisik. Hanya nama mereka saja yang eksis, yaitu di selembar kertas. Para pembaca, jangan kaget dengan perlakuan yang mengejutkan seperti ini terhadap para wanita kami – mereka sama nilainya seperti binatang peliharaan – selalu dimiliki oleh seseorang. Keberadaan mereka tidak seperti manusia. Hukum di Saudi Arabia, melarang wanita untuk menaruh foto mereka di kartu pengenal mereka; melainkan foto ayah, saudara laki-laki, suami, atau penjaga merekalah yang harus dipasang di kartu itu.
Kendati demikian, setelah menyelesaikan training guru mereka, kedua saudara perempuanku ini harus menunggu pekerjaan yang hanya akan mereka dapatkan di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka tidak boleh keluar dari kontrol ayah kami. Jika mereka berani melakukannya, maka mereka tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan.
Sebagai seorang saudara yang memiliki hati nurani, saya sangat percaya bahwa saudara-saudara perempuanku adalah orang-orang yang memiliki hikmat dan bertanggungjawab, lebih daripada banyak orang yang ada di lingkungan kami, bahkan lebih daripada saya. Saya sangat yakin jika mereka diberikan kesempatan untuk hidup dan mengatur hidup mereka sendiri, maka mereka pasti sukses tanpa masalah. Pada kenyataannya, mereka sanggup untuk menyelesaikan lebih banyak tugas-tugas yang sulit daripada yang bisa dilakukan oleh kebanyakan daripada kita.
Tetapi celaka! Ketiga wanita berpendidikan, berhikmat, bertanggungjawab, dan berambisi ini dipaksa harus tinggal di rumah oleh ayah mereka yang buta huruf. Ia tidak mengetahui apa pun mengenai dunia yang ada di luar rumah. Ia tidak melihat pentingnya mengembangkan dan membangun masyarakat. Dan ia memaksa saudara-saudara perempuan saya untuk hidup dalam batasan-batasan kehidupannya.
Ayah yang buta huruf ini melarang mereka (saudara-saudara perempuanku) untuk menikah. Hal ini ia lakukan karena ia menuntut seorang pengantin pria yang tidak merokok, penganut Islam yang kuat dari suku yang sama dengannya. Tuntutan ayah kami membuat masa depan saudara-saudara perempuanku menjadi suram.
Dalam masyarakat kami yang sangat kuat menganut Islam, semua pria perokok dan tidak sembahyang secara regular di mesjid dianggap bukan pasangan yang cocok untuk dinikahi. Sebagai sebuah peraturan buta, seorang pria yang akan menikah harus memiliki paling tidak dua orang saksi yang siap bersumpah bahwa ia tahu persis jika pria yang akan menikah itu memang benar-benar sembahyang secara regular di mesjid. Kondisi ini begitu penting dalam masyarakat Saudi dimana kegagalan memiliki dua orang saksi seperti ini dapat mengakibatkan dibatalkannya pertunangan. Lebih penting lagi, seorang wanita Saudi dari sebuah suku tidak diijinkan menikah dengan wanita lain dari suku berbeda, atau dari bangsa yang berbeda, meski pun pria itu adalah seorang Muslim. Lupakanlah bagi seorang wanita Saudi untuk menikahi seorang non-Muslim – ini haram hukumnya.
Dalam suku kami jumlah wanita 2 atau 3 kali daripada pria. Hal ini berarti bahwa banyak dari wanita-wanita kami tidak akan pernah menikah, sebab menikahi orang dari luar suku kami sama sekali tidak diperkenankan. Dalam masyarakat kami, pria-pria lebih suka menikahi wanita yang lebih muda dari dua puluh tahun. Mereka bahkan lebih suka jika gadis-gadis itu berusia sekitar enam belas tahun atau bahkan lebih muda lagi. Kesimpulan dari hasrat yang tak masuk akal untuk mendapatkan gadis-gadis muda adalah bahwa prospek untuk menikah bagi wanita-wanita yang lebih tua dari dua puluh tahun nyaris nol. Atau mereka mungkin akan menikah tetapi dengan pria yang lebih tua.
Karena peraturan Islamik yang gila ini, hidup dari para wanita yang sudah matang seperti itu tidak lagi memiliki makna di masyarakat puritan kami.
Sekarang saya ingin membahas mentalitas ayah saya dan coba memperlihatkan alasan utama mengapa ia tidak ingin anak-anak perempuannya menikah dengan orang asing (yang saya maksudkan adalah para pria dari suku atau kebangsaan yang lain).
Para pria Saudi sangat percaya bahwa wanita tidak memiliki harapan-harapan, keinginan, dan aspirasi dari dalam diri mereka sendiri. Karena itu, berhubungan dengan pernikahan, maka pendapat wanita dianggap tidak relevan. Nasibnya sepenuhnya bergantung pada pemiliknya. Para pria Saudi juga menganggap sebagai hal yang memalukan menyerahkan putri mereka untuk dinikahi oleh seorang pria asing – di luar batas dari sukunya. Sulit bagi seorang pria Saudi menerima orang luar yang dapat memandang “kehormatan” rahasia dari putri-putri mereka. Pria Saudi akan merasa keberatan jika anak perempuan mereka melakukan hubungan seks dengan orang asing, meskipun hal itu dilakukan setelah mereka menikah, dan meskipun pengantin pria nya adalah seorang Muslim. Jadi inilah alasan sehingga ayah saya tidak akan mengijinkan anak perempuannya menikahi “orang asing”. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa ia mengidap penyakit paranoid bahwa “orang asing” akan berhubungan seks dengan anak perempuannya.
Untuk alasan sebagaimana diutarakan di atas, banyak ayah Saudi yang meminta pernikahan ganda – yaitu: berikan kepada saya anak perempuanmu dan aku akan memberikan kepadamu anak perempuanku atau saudara perempuanku....dan begitu seterusnya. Mereka merasa nyaman melakukan cara seperti ini: Bahwa kami akan menjaga kehormatannya jika ia menjaga kehormatan saya. Inilah yang dilakukan orang-orang dalam masyarakat kami yaitu memanfaatkan wanita untuk keuntungan mereka sendiri – ketika mereka membutuhkan uang, atau ketika mereka membutuhkan isteri-isteri baru. Ada sejumlah wanita Saudi yang menghasilkan uang, tetapi uang yang mereka hasilkan pergi ke kantung ayah atau suami-suami mereka. Karena takut bahwa gaji dari anak perempuan mereka mungkin tidak cukup bagi suami-suami mereka, banyak ayah Saudi yang tidak mau anak perempuan mereka menikah. Bagi saya, ini mungkin alasan lain mengapa ayah saya secara literal melarang saudara perempuan saya untuk menikah.
Jika demikian, bagaimana saudari-saudari kandungku hidup dalam masyarakat seperti ini?
Sebagai wanita Saudi, saudari-saudari kandungku telah melalui banyak penderitaan. Mereka tidak memiliki hak untuk mengatur hidup mereka sendiri. Mereka sepenuhnya bergantung pada ayah kami, kepadaku, dan kepada saudara-saudara laki-laki mereka yang lain. Mereka tidak boleh pergi kemana pun sendirian. Kapan saja seseorang dari mereka harus bepergian ke luar, maka beberapa orang pria (saudara laki-laki atau ayah) harus menemaninya sebagai pelindung dan yang mengingatkannya. Bahkan mereka dilarang pergi ke luar untuk keperluar-keperluan mendesak seperti misalnya jika ada kecelakaan, keadaan darurat, dan lain sebagainya. Percayalah pada apa yang saya katakan, ketika mereka perlu untuk pergi ke rumah sakit, maka mereka harus menelepon saudara laki-laki saya untuk mengantar mereka ke sana. Dan ia harus datang dari kota lain yang jauhnya 300 km. Sebab para wanita tidak bisa mengemudikan mobil (wanita di Saudi Arabia dilarang mengendarai mobil dan dilarang bepergian dengan orang yang bukan muhrimnya), dan ayahku pun tidak bisa mengemudikan mobil, maka saudara perempuan saya tak punya pilihan lain selain harus menjalani siksaan itu tanpa bisa protes. Tak peduli seberapa penting urusannya, mereka tetap harus menunggu muhrim mereka (dalam hal ini saudara laki-laki kandung mereka) untuk membawa mereka ke rumah sakit.
Tidak ada jalan keluar bagi mereka. Karena ayah kami tidak tahu bagaimana menggunakan ATM, ketika saudara perempuan saya ingin menarik uang dari ATM, maka ia harus memberikan kartu ATM nya kepada seorang asing untuk mengambilkan uang baginya. Ketika saudara perempuan saya ingin berbelanja secara regular, maka mereka harus memberikan uang itu kepada seorang asing dan pria itu akan membayar harga barang sesuai dengan yang pria itu inginkan. Ini adalah beberapa contoh dari keadaan yang menyedihkan yang harus dihadapi oleh perempuan Saudi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Terkadang saya berpikir untuk meninggalkan pekerjaan, hanya supaya saya bisa tinggal bersama-sama dengan mereka.
Jadi mungkin anda berkata: Mengapa tidak membawa mereka keluar dari Saudi Arabia? Hal ini mustahil dilakukan. Di Saudi Arabia, untuk mendapatkan pasport, seorang perempuan harus menyerahkan ijin tertulis dari muhrimnya (ayah, saudara laki-laki kandung, atau suami). Hanya memiliki sebuah pasport tidak cukup bagi seorang perempuan Saudi untuk melakukan perjalanan sendiri. Ayahnya (seandainya ia belum menikah) harus menandatangani sebuah surat khusus yang menyatakan bahwa ia memberi ijin kepada anak perempuannya untuk bepergian seorang diri. Sebagai seorang yang buta huruf, ayahku tidak akan pernah mengijinkan saudara perempuanku untuk meninggalkan Saudi Arabia; saya sangat yakin akan hal ini.
Terkadang, saya benar-benar heran mengapa penyiksaan yang sangat berat untuk ditanggung harus diterapkan kepada wanita-wanita kami. Saudari-saudariku tidak bisa melakukan apa pun tanpa ijin dan pertolongan dari ayah atau saudara laki-laki mereka. Hampir di sepanjang waktu mereka harus tinggal di rumah, menonton televisi. Tak ada olah raga yang bisa mereka mainkan, tak ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan di luar rumah, tak ada harapan, dan tak ada apa pun yang bisa mereka hidupi. Mereka berada di penjara terbesar yang ada dalam dunia ini, yaitu Saudi Arabia, sebuah negeri yang murni, negeri Islam tanpa perselingkuhan.
Seseorang mungkin bertanya seperti ini: Mengapa hal-hal ini terjadi pada perempuan Saudi? Siapa yang harus dipersalahkan atas cobaan berat yang dilakukan kepada para wanita kami? Memang mudah untuk mempersalahkan orang-orang pandir, hukum Saudi yang tidak waras, dan tradisi-tradisi kuno yang diterapkan pada wanita-wanita kami yang kondisinya tanpa harapan. Tetapi coba pikirkan kembali. Semua faktor-faktor ini sebenarnya berakar dalam Islam. Islam sendirilah yang nyata-nyata melakukan kejahatan ini. Hukum-hukum Islam di Saudi Arabialah yang menetapkan posisi wanita Saudi tak lebih dari sekedar barang bergerak milik pria, memaksa mereka untuk melayaninya, dan sepenuhnya merampas martabat, kehormatan, dan penghargaan yang sebenarnya adalah hak mereka sebagai kaum wanita. Bisa dikatakan bahwa Islam telah mengguncangkan dan mempermalukan pondasi dasar dari kewanitaan.
Islam memberikan otoritas mutlak bagi seorang ayah untuk mengontrol putri-putri mereka. Ia memiliki kontrol mutlak untuk menikahkan mereka, melarang mereka dari kehidupan sosial, bahkan membunuh mereka. Anda mungkin akan syok ketika mempelajari bahwa seorang ayah Saudi dapat membunuh anak perempuannya tanpa dianggap bersalah oleh hukum. Ketahuilah bahwa ketika ia membunuh anak perempuannya, pemerintah tidak akan membunuh ayah itu sebab anak perempuan itu melambangkan kejujurannya. Berdasarkan syaria, pemerintah tidak diijinkan membunuh seorang ayah jika ia membunuh anak perempuan atau anak laki-lakinya atas alasan apa pun.
Dalam Islam, seorang wanita tidak diijinkan menikah tanpa ijin dari ayahnya – jika ia melakukannya maka tindakan itu dianggap haram. Dalam Islam, ayah dianggap sebagai seorang yang suci, seorang komandan, dan seorang diktator yang gampang marah. Meskipun ia seorang buta huruf, keras kepala, tidak adil, dan tidak berpikiran sehat, anak-anaknya, khususnya anak perempuannya, tidak bisa melakukan apa pun menentangnya.
Jadi, apa yang harus saya lakukan?
Jawaban langsung atas pertanyaan itu adalah: TAK ADA! Saya tidak bisa melakukan apa pun untuk merubah situasi ini. Jika saya menentang ayah saya, maka hakim agama akan bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak mengijinkan anak-anak gadismu untuk menikah?” Maka kemungkinkan jawaban ayah saya adalah sbb: “Anak-anak gadis ini adalah tanggungjawabku (mereka ada di bawah pengawasanku), dan Allah akan menghukum aku jika aku tidak memilihkan suami yang baik untuk mereka.” Sebagai bukti atas usahanya yang tulus, ia mungkin akan menunjukkan bukti bahwa semua pria yang ia cari adalah perokok dan ia pun mungkin akan membawa saksi yang menyatakan bahwa para pria itu adalah para Muslim yang tidak berdoa di mesjid. Hal ini sepenuhnya akan meyakinkan hakim Islamik itu. Ia tidak akan menemukan dasar untuk menghukum ayah kami; sebaliknya, ia akan menjatuhkan penghukuman kepadaku sebab tidak menghormati ayahku dan keputusan-keputusannya.
Dengan kesedihan dan frustasi dalam hati saya, maka aku hanya bisa menanti dengan sabar hingga ayah kami mati. Jika ia sudah mati, secara otomatis kontrol atas saudara perempuanku akan jatuh kepada saya. Kepemilikan resmi sepenuhnya akan menjadi milik saya.
Saya akan menjadi pemilik baru atas hidup mereka – sama seperti mobil, rumah, kambing, unta, dan lain sebagainya. Kemudian saya akan sepenuhnya bebas untuk melakukan apa pun yang saya inginkan atas mereka – Islam memberikan saya semua otoritas itu. Saya bisa membawa mereka ke surga atau ke neraka – semuanya bergantung pada saya.
Para pembaca, jangan merasa kasihan atau menyesal untuk saudara-saudara perempuan saya. Dibandingkan dengan banyak perempuan Saudi lainnya, mereka masih cukup beruntung – mereka masih bisa mengunjungi shopping center sekali atau dua kali setahun. Mereka juga masih bisa mengenakan make up dan bahkan masih bisa mendengarkan musik. Kebebasan terbesar yang masih mereka miliki adalah bahwa mereka masih bisa memilih saluran televisi apa pun yang mereka sukai. Bagi banyak wanita Saudi, ini sudah merupakan hak yang besar, jika anda belum mengetahuinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar