Rabu, 04 November 2009

Pasal 7 - Saya Adalah Eks Muslim, dan Saya Bangga Dengan Hal Itu

“Saya ingat bahwa saya diajar untuk membenci (meskipun tidak secara langsung) dengan memasukkan ketakutan-ketakutan terhadap “orang-orang Yahudi yang jahat itu”, dan guru saya mencoba untuk membawa saya ke dalam jihad dengan menjanjikan ketujuh puluh dua perawan (Huur Al-Ay) yang bisa saya nikmati di Surga. Tentu saja saya tidak pernah tertarik dengan hal itu, sebab saya adalah seorang gay.

Untuk banyak mantan Muslim, tingkatan kebencian dan retorika terhadap mereka yang disebut “kafir” adalah sangat tinggi. Bagi banyak orang-orang Muslim yang masih muda, yang sudah diekspos dengan kebebasan ala Barat, penindasan seperti ini tidak lagi sanggup untuk ditanggung. Tragisnya, tirani seperti ini tidak hanya berlaku di negara-negara Islam, tetapi bisa juga ditemukan di kota-kota besar yang ada di negara Barat. Sebagai contoh, kisah Nissar Hussein, mantan Muslim yang tinggal di Bradford, England, yang berdasarkan laporan dari London Times, ia telah menjadi korban dari sebuah kampanye kebencian yang berlangsung selama tiga tahun karena ia sudah meninggalkan Islam. Keluarganya telah di desak-desak, dilecehkan bahkan diserang. Keluarganya juga sudah diminta untuk pindah dari lingkungannya. Semuanya ini terjadi bukan karena apa yang diyakini oleh Hussein, tetapi karena ia tidak lagi percaya kepada Islam. Sangatlah menyedihkan bahwa kisah seperti ini semakin sering terjadi di seluruh Inggris dan di bagian dunia lainnya.

Dalam kesaksian yang anda baca di sini, murtadin lainnya menceritakan penghinaannya kepada budaya yang ia anut sebelumnya dan hasratnya untuk mengekspos sisi gelap dari budaya itu – meski dengan perasaan takut akan konsekwensi yang mungkin akan ia alami karena melakukan hal itu. Sesungguhnya, mudah untuk mengerti darimana ketakutan itu datang, dan mengapa. Tak seorang pun - bahkan di Barat – aman dari kekejaman Islam.

Saya tidak akan memberikan detail pribadi mengenai kehidupan saya (negara asal, sejarah keluarga, dan sebagainya). Saya cukup mengatakan bahwa saya berasal dari sebuah negara Muslim dimana orang terakhir yang anda harap untuk bisa bertemu adalah seorang eks-Muslim. Saya juga orang Arab, belum genap berusia dua puluh tahun, dan saya ada di sini untuk membagikan kisah saya.

Bukan tugas yang sulit bagi saya menjelaskan secara detail pengalaman saya selama sembilan belas tahun hidup sebagai Muslim. Berasal dari latar belakang Muslim yang religius, saya diajarkan untuk percaya bahwa Quran itu tanpa salah, ucapan-ucapan Muhammad harus dihormati, dan penentangan serta kritik akan menghadapi konsekwensi yang serius. Karena itu saya merasa bahwa saya dipaksa masuk Islam dengan tidak memperdulikan keinginan saya, dan saya dipaksa untuk bertumbuh dengan agama ini dan tidak pernah diijinkan untuk mempertanyakannya.

Tetapi sebenarnya dalam kurun waktu yang cukup panjang, secara diam-diam saya telah mempertanyakan ‘keyakinan” saya; keyakinan yang saya bertumbuh bersamanya dan mengkonstitusikan siapakah saya; keyakinan yang merupakan bagian besar dari identitas saya. Saya ingin saat saya diajar untuk membenci, dengan memasukkan ketakutan terhadap “orang-orang Yahudi yang jahat”, dan guru saya mencoba untuk membawa saya ke dalam jihad dengan menjanjikan ketujuh puluh dua perawan (Huur Al-Ay) yang bisa saya nikmati di Surga. Tentu saja saya tidak pernah tertarik dengan hal itu, sebab saya adalah seorang gay.

Disebabkan jumlah kami yang sangat sedikit, maka kami sebagai mantan Muslim mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan mensharingkan pengalaman kami. Saya merasa sendirian setelah meninggalkan Islam. Saya mengalami depresi, kesedihan, tersiksa dan kesepian. Berada di luar sentuhan realitas dan cara hidup yang ada disekeliling membuat saya benar-benar merasa terisolasi. Bahkan ketika berteriak minta tolong, saya merasa seolah-olah suara saya lenyap ditelan angin.

Sangat sulit untuk meyakini sebuah agama yang melarang seks sebelum nikah, tetapi kitab sucinya menjelaskan lebih detail dan merasa lebih nyaman bagaimana anda seharusnya melakukan hubungan seks, daripada yang dilakukan oleh Carrie Bradshaw dalam serial Sex and the City. Sangat sulit percaya kepada agama yang melarang kegembiraan, yang menindas kaum wanita, dan mengancam orang Yahudi dan Kristen sepertinya mereka itu adalah warga negara kelas seribu.

Semakin banyak saya melihat para imam berteriak dan mengecam “kondisi kami yang miskin”, dan memakainya untuk membenarkan kebencian dan permusuhan terhadap dunia Barat, maka semakin besar juga saya menjadi yakin bahwa meninggalkan Islam adalah sebuah pilihan bijak, sebab tak ada agama yang mengajarkan kebencian seperti ini. Ya, memang ada individu-individu yang hidup dalam kebencian di agama Kristen, tetapi orang-orang ini tidak signifikan, mereka seringkali diabaikan, dan terlebih lagi, orang-orang seperti ini tidak diperkenankan memimpin doa sebagaimana yang dilakukan para imam Islam di mesjid-mesjid mereka. Orang-orang itu juga tidak memiliki otoritas religius atau moral seperti yang dimiliki oleh para imam Islam itu.

Maka disitulah saya, belum terlalu lama saya keluar dari seperangkat keyakinan ini, dan setelah melakukannya saya belum pernah merasa bahagia seperti sebelumnya. Saya merasa bebas, ekstatis, dan bersukacita. Saya sangat berterimakasih kepada wanita seperti Wafa Sultan, yang telah menunjukkan kepada saya wajah asli dari agama yang selama bertahun-tahun saya percayai secara buta. Sekarang saya adalah seorang mantan Muslim. Saya telah meninggalkan agama yang jahat itu dan menganggapnya sebagai masa lalu saya, dan saya tidak akan pernah kembali ke situ. TIDAK AKAN PERNAH! Saya adalah seorang mantan Muslim, dan saya sangat bangga dengan hal ini.

2 komentar:

  1. Kaum murtadin adalah mereka yang sudah bebas dari belenggu iblis yang membutakan, sehingga tidak bisa membedakan antara Allah / nabi yang benar / sejati dan mana yang palsu. Selamat kepada kaum murtadin

    BalasHapus
  2. Kebebasan berpikir'-bebas memutar sebuah sisi yg berbeda dari sebuah cerita.

    BalasHapus